REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti jumlah kebutuhan udara di DKI Jakarta yang tak sebanding dengan debit udara yang tersedia di wilayah tersebut. Peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air Bahasa Inggris BRIN Irfan Budi Pramono memaparkan kebutuhan air di jakarta mencapai sekitar 30 ribu liter per detik, sedangkan jumlah debit air yang tersedia hanya berada di bawah 20 ribu liter per detik.
“Pada tahun 2028 diprakirakan- kebutuhan udara-mencapai 40 ribu liter per detik, bahkan hingga 2033-kebutuhan udara- sudah di atas 45 ribu liter per detik, sedangkan kita lihat ketersediaan udara relatif di sekitar 18 ribu per detik,” kata Irfan, Selasa ( 23/7/2024).
Irfan juga mengungkapkan kebutuhan udara di Jakarta meningkat sekitar 3,3 persen setiap tahunnya. Hal tersebut, katanya, disebabkan oleh meningkatnya nilai mengubah udara menjadi uap melalui permukaan tanah dan tanaman atau evapotranspirasi, perilaku manusia, dan pertumbuhan populasi.
“Perubahan iklim menyebabkan perubahan pola hujan menjadi berintensitas tinggi dalam waktu yang singkat, yang mengakibatkan perubahan suhu, dan juga mengakibatkan masalah pada sumber daya udara,” ujarnya.
Tidak hanya di DKI Jakarta, Irfan mengungkapkan hal yang sama juga terjadi di sejumlah wilayah lain di Indonesia, yang bisa dilihat pada kontinuitas, kuantitas, serta kualitas udara yang tersedia dalam sebuah sumber air di salah satu wilayah. Ia memaparkan sejumlah sungai di Pulau Jawa seperti Sungai Ciujung di Banten-Jawa Barat, Cikapundung, Cimanuk, dan Citanduy di Jawa Barat, Bengawan Solo di Jawa Tengah-Timur, serta Brantas di Jawa Timur yang cenderung mengalami penurunan debit air dari tahun ke tahun.
“Waspada air kita semakin lama semakin berkurang, bisa jadi bom waktu kalau tidak diantisipasi bagaimana mempertahankan sumber daya air tersebut,” kata Irfan.
Oleh karena itu, BRIN tengah melakukan studi Watershed Health Assessment System (WHAS) guna menganalisis terkait sumber kesehatan air di suatu wilayah, melalui berbagai indikator seperti hidrologi, tanah, dan sosioekonomi yang salah satunya sudah dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu di Jawa Barat. Studi tersebut, kata dia, telah menemukan sejumlah masalah penyebab kurang baiknya kualitas udara di daerah tersebut, untuk kemudian dilakukan berbagai solusi berbasis alam seperti rehabilitasi hutan dan lahan, pembuatan kolam retensi dan resapan udara, menghindari pelurusan sungai, serta penerapan konservasi udara pada berbagai penggunaan lahan.
Alam ini sebetulnya diciptakan teratur, ada rawa dan bentuk lainnya. Manusia cenderung mengubah kondisi alam sesuai keinginannya, seperti di Jakarta ada Rawamangun dan rawa lainnya yang dikeringkan untuk perumahan, sehingga banjir karena air berasal dari situ. Kalau dikembalikan fungsinya bagus, supaya tidak banjir di hulu dan bisa menyaring udara yang tercemar dengan tanaman yang ada,” kata Irfan Budi Pramono.