TEMPO.CO, Jakarta –Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menyebut ada tiga dampak jika bea cukai minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK resmi diterapkan. Menurut dia, pengaruh penerapan cukai MBDK dapat positif atau negatif.
“Dapat dilihat dari tiga sisi. Penerimaan cukai, konsumsi masyarakat terhadap MBDK dan pengusaha MBDK,” katanya ketika dihubungi Tempo pada Ahad, 25 Februari 2024.
Amanat pungutan cukai MBDK tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2023 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2024. Cukai MBDK dimasukkan ke dalam rincian penerimaan perpajakan anggaran 2024. Target penerimaannya ditetapkan sebesar Rp 4,39 triliun.
Prianto menjelaskan, pungutan pajak termasuk bea masuk bisa untuk mengisi pundi-pundi APBN, sebagaimana fungsinya budgetair. Selain itu, bisa pula untuk pengendalian atau pengaturan, sebagaimana fungsinya regulerend.
Untuk seni MBDK, kata dia, fokus utamanya adalah mengendalikan dampak negatif dari MBDK. Konsumsi MBDK dan turunannya berlebih diketahui berakibat pada penyakit diabetes, karena konsumsi gula berlebih.
“Kasus untuk cukai MBDK yang masih menarik ulur, kita dapat melihat bahwa ada kepentingan yang berbeda di antara pihak pro dan kontra.”
Di satu sisi, pihak yang pro terhadap penerapan cukai MBDK fokus pada dampak negatif dari konsumsi gula berlebih. Oleh karena itu, menurut Prianto, perlu ada pengendalian konsumsi. Caranya dengan menambahkan atau meningkatkan unsur pajak dalam komponen beban yang harus ditanggung konsumen.
Iklan
“Dengan cara di atas, diharapkan sifat pajak yang mendistorsi membuat masyarakat dapat mengurangi konsumsi gula. Jika tidak mau menguranginya, masyarakat harus mengeluarkan kocek lebih dalam lagi untuk mengonsumsi gula dengan tingkat yang sama,” tuturnya.
Sementara di sisi lain, pihak yang kontra seperti pelaku usaha akan khawatir dengan risiko penurunan konsumsi. Turunnya konsumsi dapat berimbas melandainya omzet penjualan. Pada akhirnya, katanya, harus ada efisiensi biaya yang dapat berakibat pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sebagai jalan keluar, pihak yang pro dan kontra harus berkompromi agar aturan bea cukai MBDK dapat segera ditetapkan. Pada akhirnya, kompromi tersebut tidak akan menghasilkan produk aturan yang ideal. Oleh karena itu, muncullah istilah teori terbaik kedua.”
Pungutan otomotif menitikberatkan fokus pada pengendalian dampak negatif dari produk MBDK. Oleh karena itu, Prianto mengatakan pemerintah dapat membuat kebijakan berupa pengalokasian. Caranya adalah dengan mengalokasikan penerimaan cukai untuk mengatasi dampak negatif dari MBDK. Setiap pro dan kontra harus diberikan fasilitas dengan cara kompromi, sehingga saling menguntungkan tercapai,” tuturnya.
Pilihan Editor: Basuki Hadimuljono Dikabarkan Tak Masuk Kabinet Prabowo, Pengamat Ungkap Kriteria Menteri PUPR Berikutnya