Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) meminta PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex untuk tidak terburu-buru dalam melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang, melalui putusan dengan nomor perkara 2/Pdt .Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemnaker, Indah Anggoro Putri meminta Sritex menunggu sampai adanya putusan inkrah atau putusan dari Mahkamah Agung.
Kemnaker meminta kepada PT Sritex dan anak-anak perusahaannya yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga agar tidak terburu-buru melakukan PHK kepada pekerjanya, sampai dengan adanya putusan yang inkrah atau dari MA, kata Indah kepada wartawan, Kamis (24/10/2021). 2024).
Indah juga meminta Sritex dan anak-anak usahanya tetap membayar gaji para karyawan.
Kemnaker meminta kepada PT Sritex dan anak-anak perusahaannya untuk tetap membayarkan hak-hak pekerja terutama gaji/upah, sambungnya.
Kemnaker menghimbau agar semua pihak manajemen yaitu dan SP di perusahaan untuk tetap tenang dan menjaga kondusifitas perusahaan, serta segera menentukan langkah-langkah strategi dan solutif untuk kedua belah pihak. Utamakan dialog yang konstruktif, produktif dan solutif.
Untuk diketahui, berdasarkan Putusan Homologasi tanggal 25 Januari 2022, disebutkan Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada PT Indo Bharat Rayon, selaku pemohon.
Seperti diketahui, Sritex telah lama mengalami permasalahan keuangan yang akut di mana perusahaan mencatat kenaikan utang dan defisit modal yang kian membengkak.
Hingga akhir Juni 2024, aset perusahaan tercatat turun 5% menjadi US$ 617 juta atau setara Rp 9,56 triliun (asumsi kurs Rp 15.500/US$). Sementara itu, utang perusahaan masih berada di level tinggi yakni mencapai US$ 1,60 miliar atau setara Rp 24,8 triliun.
Akibatnya, perusahaan masih mengalami defisiensi modal (ekuitas negatif) yang pada akhir tahun lalu nilainya semakin membengkak menjadi US$ 980 juta (Rp 15,19 triliun).
Kewajiban jangka pendek Sritex tercatat US$ 131,42 juta (Rp 2,04 triliun), dengan US$ 11,34 juta (Rp 176 miliar) di antaranya merupakan utang bank jangka pendek ke Bank Central Asia (BBCA). Sementara itu, dari US$ 1,47 miliar (Rp 22,78 triliun) kewajiban jangka panjang, sebesar US$ 810 juta (Rp 12,55 triliun) merupakan utang bank.
Pinjaman utang bank jangka panjang merupakan utang eks sindikasi (Citigroup, DBS, HSBC dan Shanghai Bank) senilai US$ 330 juta. Selain itu BCA, Bank QNB Indonesia, Citibank Indonesia, Bank BJB dan Mizuho Indonesia tercatat menjadi kreditur terbesar dengan besaran kewajiban SRIL masing-masing lebih dari US$ 30 juta. Selain 5 yang telah disebutkan, perusahaan juga memiliki utang pada 19 pihak bank lain yang sebagian besar merupakan bank asing atau bank swasta milik asing.
Sebelum resmi dinyatakan pailit dalam keputusan terbaru pengadilan Semarang, manajemen Sritex dalam laporan keuangan terbaru mengungkapkan bahwa perusahaan masih berupaya melakukan sejumlah rekonstruksi atas beban utang yang membengkak pada banyak bank. Selain itu perusahaan juga masih gencar menyelesaikan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan permintaan damai dengan para kreditur.
SRIL dalam laporan keuangan tahunannya mengungkapkan utang jumbo yang membuat modal defisiensi “mengindikasikan adanya suatu bahan penerangan yang dapat menyebabkan keraguan signifikan atas kemampuan Grup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya.”
Meski dengan kondisi berdarah-darah, Sritex sebelumnya sempat optimis dan mengungkapkan bahwa perusahaan masih memperoleh dukungan dari pemegang saham.
“Grup juga telah memperoleh surat dukungan dari pemegang sahamnya, yang memberikan konfirmasi bahwa akan terus memberikan dukungan finansial bagi Grup agar mampu mempertahankan kelangsungan usahanya dan untuk dapat memenuhi kewajiban Grup,” jelas manajemen Sritex.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, manajemen Sritex menyebut perusahaan akan meningkatkan penjualan dan efisiensi biaya produksi salah satunya melalui pengurangan jumlah karyawan.
Sepanjang tahun 2023 perusahaan telah memangkas 2.232 karyawan dari semula 16.370 karyawan di akhir tahun 2022 hingga tersisa 14.138 karyawan akhir tahun lalu. Lalu pada akhir Juni 2024 karyawan Sritex bersisa 11.249 yang artinya kembali mengurangi 2.889 karyawan dalam medio enam bulan.
Meski demikian, dampak PHK tidak hanya dirasakan oleh karyawan Grup Sritex melainkan ikut menjalar ke para vendor dan sejumlah pihak lain yang bisnisnya hidup di hilir atau hulu bisnis Sritex.
“Putusan pailit ini akan mengancam sekitar 20-an ribu karyawan yang tersisa di Sritex group. Mereka akan kehilangan pekerjaan dan bisa-bisa tidak akan mendapatkan pesangon,” kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi kepada CNBC Indonesia, Kamis (24/1). 10/2024).
Laporan keuangan perusahaan tahun 2023 yang diaudit Kanana Puradiredja, Suhartono memperoleh Opini Wajar dengan Pengecualian. Opini audit tersebut diberikan apabila ditemukan bukti atas simpulan kesalahan penyajian dan laporan keuangan tidak pervasif.
(haa/haa)
Artikel Berikutnya
4 Pabrik Tekstil di RI Tutup & 2.200-an Pekerja Kena PHK, Ini Datanya