Jakarta, CNBC Indonesia – Pada zamannya PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex pernah menjadi raja kain di Indonesia. Namun di belakangan perusahaan terlilit utang.
Sritex Didirikan oleh Haji Muhammad Lukminto lebih dari 50 tahun. Dia merupakan peranakan Tiongkok yang berjualan tekstil di Solo sejak usia 20an.
Pada tahun 1966 di usianya ke-26 tahun, Lukminto atau Le Djie Shin menyewa kios di Pasar Klewer bernama UD Sri Redjeki. Ternyata bisnisnya menguntungkan dan berselang dua tahun mulai membuka pabrik cetak penghasil kain putih dan berwarna untuk pasar Solo.
Pabrik itulah yang jadi cikal bakal Sritex. Pada Prahara Orde Baru (2013) terbitan Tempo, pabrikan itu disebut punya kedekatan dengan keluarga Cendana atau keluarga Soeharto.
Informasi itu karena Lukminto punya kedekatan sendiri dengan Harmoko yang merupakan tangan kanan Cendana. Mantan Menteri Penerang dan Ketua Umum Golkar merupakan sahabat kecil Lukminto.
Kedekatan itulah yang membuat Sritex dan Lukminto mendapatkan keuntungan besar. Dia memegang beberapa tender proyek pengadaan seragam yang disetujui pemerintah, seperti Korpri batik.
“Di dalam negeri, ketika itu Sritex (tahun 1990-an) menerima pesanan seragam batik Korpri, Golkar, dan ABRI,” tulis Tempo.
Proyek pengadaan itulah yang membuat Sritex mendapat keuntungan besar. Hasil positifnya juga ditambah dengan penguasaan pada pasar garmen di dalam dan luar negeri.
Sayang hasil baik itu tak bertahan hingga sekarang. Total liabilitas SRIL hingga September 2022 tercatat US$1,6 miliar.
Jumlah itu didominasi oleh utang yang memiliki bunga, seperti utang bank dan obligasi. Jika benar karam karena terbentur utang, maka bisa jadi Sritex bakalan tinggal nama.
Artikel Selanjutnya
Dulu Raja Kain Ikon Penguasa, Sekarang Tertimbun Utang
(fsd/fsd)