TEMPO.CO, Jakarta – Ratusan masyarakat adat dari berbagai wilayah berkumpul di depan Gedung DPR, Jumat, 11 Oktober 2024. Jauh-jauh datang dari berbagai penjuru Tanah Air, massa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (Gerak Masa) ini menggelar aksi untuk menuntut komitmen pemerintah melindungi kelompok masyarakat adat.
“Aksi ini kami gelar dalam rangka menagih komitmen dan janji politik pemerintah terkait perlindungan serta menyediakan hak-hak masyarakat adat di Indonesia,” ucap Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, dalam keterangan tertulis, Jumat, 11 Oktober 2024.
Rukka mengatakan, aksi damai ini akan diikuti oleh perwakilan masyarakat adat dari berbagai wilayah Indonesia dan jaringan organisasi. Tuntutan yang mereka suarakan yakni perlindungan wilayah adat, pengakuan hak-hak masyarakat adat, hingga penyelesaian konflik agraria. Aksi ini juga bertujuan untuk menyoroti satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dinilai belum sepenuhnya menepati janji politik terhadap masyarakat adat, ujarnya.
Berpakaian khas Melayu dengan sarung melingkari pundaknya, Yulinas Muchtar, 72 tahun, turut hadir dalam aksi itu. Berangkat menggunakan bus dari Kampung Sampali, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, sejak Senin, 7 Oktober 2024, dia bersama lima orang lain rombongannya menagih janji Jokowi dalam Nawacita untuk melindungi masyarakat adat. “Inilah namanya perjuangan,” katanya saat ditemui Tempo di lokasi aksi.
Dia juga menuntut parlemen untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah dibahas sejak 2010. Dengan nihilnya beleid itu, tanah-tanah di kampung Muchtar banyak dirampas oleh pengembang dan orang-orang tak bertanggung jawab. “Enggak ada perlindungan, hanya angin segar janji janji cuma janji, tapi di balik itu yang lainnya tetap menindas kami,” ujarnya.
Iklan
Rukmini Petoheke, warga Ngata Toro, sebuah desa di dekat Taman Nasional Lore Lindu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, mengungkapkan hal serupa. Berpakaian adat Kulawi, dia menyampaikan kekhawatirannya karena DPR segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Dengan tidak adanya undang-undang itu, dia mengatakan negara terus menerus merampas tanah-tanah masyarakat adat.
Dia mengeluhkan banyaknya perusahaan sawit dan tambang yang masuk wilayahnya akibat nihilnya perlindungan dari pemerintah. Padahal, menurut dia, DPR telah menjanjikan pengesahan RUU itu sejak tahun 2012 lalu. “Pemerintah hanya suka baju adatnya, tapi tak menghargai tanah, kearifan, dan ulayat,” ucapnya kepada Tempo.
Perempuan berusia 53 tahun itu menambahkan, posisi hakim adat terancam oleh keberadaan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Beleid itu, kata dia, mengambil alih proses peradilan masyarakat yang selama turun-menurun mereka kerjakan. “Buat kami, UU KUHP itu pembodohan dan pengkhiatan buat hukum adat kami,” katanya.
Pilihan Editor: OJK Yakin Kredit Perbankan Bakal Tumbuh 11 Persen hingga Akhir Tahun