Jakarta, CNBC Indonesia – Sovereign Wealth Fund (SWF) raksasa Norwegia melaporkan rekor laba, Selasa (30/1/2024). Dana abadi itu mencatat keuntungan sebesar 2,22 triliun kroner (Rp 3.363 tiliun).
Hal ini didukung pengembalian yang kuat atas investasinya pada saham teknologi. Ini memberikan rekor kerugian yang terjadi sepanjang tahun 2022, sebesar 1,64 triliun kroner akibat kondisi pasar yang tak biasa kala itu.
“Walau ada inflasi tinggi dan gejolak geopolitik, pasar ekuitas pada tahun 2023 sangat kuat dibandingkan dengan tahun 2022,” kata Nicolai Tangen, CEO Norges Bank Investment Management (NBIM), dikutip CNBC Internasional.
“Saham teknologi khususnya memiliki kinerja yang sangat baik,” tambahnya.
NBIM Didirikan tahun 1990an untuk berinvestasi surplus pendapatan dari sektor minyak dan gas negara tersebut. Hingga saat ini, dana tersebut telah menyalurkan dana ke lebih dari 8.500 perusahaan di 70 negara di seluruh dunia.
Tahun lalu, NBIM mengatakan laba atas investasi ekuitas adalah 21,3%. Sementara laba atas investasi pendapatan tetap mencapai 6,1%.
Investasi pada real estate tidak terdaftar menghasilkan -12,4%, karena kenaikan suku bunga dan lemahnya permintaan.SWF tersebut juga menghasilkan pengembalian sebesar 3,7% atas investasi pada infrastruktur energi terbarukan tidak terdaftar pada tahun 2023.
Pada akhir tahun lalu, NBIM mengatakan hampir 80% dana tersebut diinvestasikan dalam ekuitas, 27,1% pada pendapatan tetap. Sedangkan 1,9% pada real estate tidak terdaftar dan 0,1% pada infrastruktur energi terbarukan yang tidak terdaftar.
Hati-Hati Titik Panas
Sementara itu NBIM menyebut ada banyak titik panas di tahun 2024. Ini menyebar di banyak tempat.
Hal ini diutarakan menjawab pertanyaan soal masalah geopolitik. Termasuk bagaimana kemungkinannya mempengaruhi saham pada tahun 2024.
“Jadi, apa saja yang perlu kita waspadai? Nah, ketegangan antara Amerika dan China berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia,” kata Tangen.
“Fakta bahwa masyarakat lebih banyak melakukan produksi di dekat pantai dan memindahkan produksi lebih dekat ke rumah merupakan kekuatan inflasi,” lanjutnya.
“Kami melihat dampak ketegangan geopolitik di Timur Tengah melalui rute perdagangan yang lebih panjang (dan])biaya transportasi yang lebih tinggi. Jadi itu negatif. Dan tentu saja, situasi geopolitik yang paling menakutkan adalah situasi yang tidak Anda ketahui, yang belum terjadi,” paparnya.
Artikel Selanjutnya
Sesi 1 IHSG Parkir di Zona Hijau, Ditopang Sektor Kesehatan
(sef/sef)