TEMPO.COBahasa Indonesia: Jakarta – Masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Komunitas untuk BPJS Ketenagakerjaan (JKU BPJS TK) menyerahkan Kertas Posisi kepada Sekertaris Jendral Kementerian Ketenagakerjaan (Pekerja Kemnaker) Anwar Sanusi.
Kertas Posisi tersebut berisi masukan atau rekomendasi atas Revisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 5 Tahun 2021. Hal ini dilakukan karena terjadi penolakan terhadap pengajuan klaim manfaat Jaminan Kematian (JKM) dari komunitas transpuan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
“Kami menyampaikan kajian makalah posisi usulan revisi Permenaker nomor 5 tahun 2021 perihal sistem pendaftaran dan klaim BPJS Ketenagakerjaan terutama untuk peserta bukan penerima upah (BPU),” kata Koordinator JKU BPJS TK Hartoyo saat jumpa pers di Gedung Kemnaker, Jakarta Selatan, Selasa, 13 Agustus 2024.
Ia mengatakan bahwa aduan ke Kemnaker kali ini adalah penolakan JKM terhadap komunitas atau kelompok transpuan. Hartoyo datang ke kantor Kemnaker didampingi oleh Organisasi Suara Kita. Salah satu peran organisasi ini adalah mendampingi komunitas transpuan yang sering mendapatkan diskriminasi. Kendati demikian, masalah ini sudah terjadi pada berbagai kelompok secara umum.
Hartoyo menjelaskan bahwa BPJS Ketenagakerjaan memiliki dua kepesertaan yaitu Pekerja Upah (PU) dan Bukan Pekerja Upah (BPU). Dengan kata lain, PU adalah pekerja formal dan BPU adalah pekerja informal. Para transpuan yang didampingi Suara Kita masuk dalam kategori BPU. “Ya pokoknya orang-orang miskin dengan pekerjaan seperti tukang pijat dan pengamen,” katanya.
Sepanjang 2022-2024, kata Hartoyo, sudah terdapat sembilan orang transpuan yang didampingi Sura Kita yang mendapatkan persetujuan JKM . Dari sembilan kasus tersebut, beberapa di antaranya hanya memperoleh sebagian uang jaminan dan selebihnya lagi tidak mendapatkan uang jaminan sama sekali.
JK BPJS TK, kata Hartoyo, mempermasalahkan BPJS Ketenagakerjaan yang menolak sejumlah klaim JKM dari peserta. Padahal katanya, mereka adalah peserta mendaftar resmi yang membayar iuran setiap bulannya.
Iklan
Permenaker No. 5 Tahun 2021, lanjut Hartoyo, merupakan acuan teknis bagi BPJS Ketenagakerjaan dalam menyelengarakan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Peraturan ini memuat banyak pasal multi tafsir dan ketentuan yang belum diatur. Hal ini mengakibatkan hilangnya hukum yang merugikan hak peserta dan ahli warisnya untuk memperoleh manfaat dari program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
“Masalahnya Permenaker ini ada bolongnya jadi kayak ada kekosongan. Misalnya soal wasiat, soal pendaftaran, soal apakah BPJS itu boleh menolak klaim dengan alasan gak bekerja, sakit menahun dan lainnya. Semua di Permenaker gak terlalu detail, gak jelas. Konsekuensi BPJS ini dalam tanda kutip kayak buat ide-ide sendiri atau jadi kayak punya izin sendiri,” ujar Hartoyo.
Kertas putih tersebut memuat masukan atau rekomendasi terhadap pasal-pasal bermasalah dalam Permenaker No. 5 Tahun 2021. Rekomendasi-rekomendasi tersebut, kata Hartoyo, memiliki semangat agar ke depannya tidak ada lagi peserta dan ahli warisnya yang tidak mendapatkan manfaat program Jamin Sosial Ketenagakerjaan (JSK ).
Salah satu solusi penting yang disampaikan oleh JKU BPJS TK kepada BPJS Ketenagakerjaan adalah mencatat pihak-pihak yang ditunjuk oleh peserta untuk mendapatkan manfaat jaminan. Hal tersebut akan memperjelas siapa yang akan menerima manfaat jaminan setelah peserta meninggal.
Pilihan Editor: Serikat Buruh Gugat ke MK untuk Cabut UU Tapera, Siapa Lagi Tolak Kewajiban Tapera?