TEMPO.CO, Jakarta – Pengamat Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai Mahkamah Konstitusi (MK) telah melanggengkan dinasti politik dengan keputusan terbarunya soal batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang dibacakan hari ini, Senin, 16 Oktober 2023. Putusan MK membuka celah bagi putra Presiden Jokowi sekaligus Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju menjadi calon wakil presiden.
Bivitri menilai MK melenggangkan dinasti politik karena Jokowi saat ini masih menjabat. Dia pun menilai politik dinasti Jokowi berbeda dengan apa yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri. Dia menyebut politik dinasti Jokowi terlalu instan dan memanfaatkan posisinya yang masih ada.
“Banyak tu orang yang suka salah kaprah Boleh dibilang kok kita ga adil sih kan AHY juga partai punya atau Megawati juga ketua partai. Tapi bedanya adalah mereka semua itu membangun karir politiknya terlebih dahulu. Tapi kalau dalam konteks keluarga Jokowi itu terlalu instan, yang betul-betul memanfaatkan Jokowi yang masih menjabat,” kata Bivitri Susanti saat ditemui di Kedai Tjikini sesuasi mengisi diskusi. Senin, 16 Oktober 2023.
Bivitri Susanti mengatakan, akan ada dampak yang mempengaruhi MK setelah pembacaan amar putusannya. Dampak pertama, adalah turunnya legitimasi MK. Kedua, dia menilai keputusan ini akan memberikan legitimasi terhadap penggunaan lembaga yudikatif untuk kepentingan politik dinasti dalam demokrasi di Indonesia.
“Dalam konteks demokrasi Indonesia secara lebih umum menurut saya sih, jadinya ada penggunaan lembaga yudikatif untuk membentuk politik dinasti,” kata Bivitri.
Nepotisme dalam putusan MK
Dia pun menilai keputusan ini semakin memperjelas adanya praktik nepotisme. Pasalnya, Ketua MK Anwar Usmanmerupakan adik ipar dari Presiden Jokowi.
“Nyata begitu yah antara Ketua MK dengan satu-satunya orang di bawah usia 40 yang namanya beredar (untuk maju pada Pilpres 2024) yaitu Gibran,” kata Bivitri.
Dia pun menyebut keputusan ini merupakan titik balik demokrasi yang cukup besar. Dia menilai keputusan ini merupakan fenomena yang melebihi masa orde baru.
“Karena ini lebih parah daripada yang susah pernah terjadi di Indonesia. Iya lebih parah dari jalamannya Suharto, Suharto tidak pakai pengadilan ya. Ya sekarang nyata sekali ya pakai pengadilan segala pake Mahkamah Konstitusi,” kata Bivitri.