Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) kembali disampaikan oleh media asing. Hal ini terkait nasib Indonesia kedepannya setelah pergantian presiden atau setelah pemilu presiden (Pilpres) 2024.
Salah satunya media The Economist yang memuat judul khusus tentang pemilu di RI yang akan mengubah rezim sang Presiden bertajuk “Seperti apa Indonesia setelah kepergian Jokowi?”
Tulisan awal dimulai dengan bagaimana RI di masa Jokowi. Ia digambarkan telah berperan sebagai “negarawan global”.
“Ia tuan menjadi rumah bagi para pemimpin dari seluruh kawasan pada KTT Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Jakarta pada tanggal 5 hingga 7 September,” muat media itu, dikutip Senin (11/9/2023).
“Pada bulan Agustus ia mengantongi kesepakatan ekonomi selama tur di Afrika,” tambahnya.
“Dia menghadiri KTT para pemimpin G20 di Delhi pada tanggal 9 September, setelah menjadi tuan rumah acara tahun lalu, dan juga berencana mengunjungi Arab Saudi dalam waktu dekat,” tulis The Economist.
Bukan hanya itu, kesannya di dalam negeri juga terlintas. Bagaimana tutur perilaku Jokowi disebut membuat ia banyak disukai.
“Gaya Jokowi yang lembut dan sederhana menjadikan Jokowi, begitu ia disapa, menjadi salah satu pemimpin yang paling disukai di dunia,” tambah media itu.
“Perangkat persetujuannya berkisar sekitar 80%,” jelas The Economist lagi.
“Hanya Narendra Modi, Perdana Menteri India, yang mampu mendekati pencapaian tersebut,” muatnya.
Namun meski Jokowi tengah menikmati popularitasnya, bermunculan mengenai warisan. Apalagi kalau bukan siapa yang akan menggantikannya setelah ia merendahkan diri tahun depan.
“Ketika Jokowi menjadi presiden pada tahun 2014, ia seperti pemimpin yang pernah ditemui di negara ini: seorang pembuat furnitur yang dibesarkan di gubuk tepi sungai … tidak memiliki hubungan dengan tentara atau keluarga terkemuka mana pun,” tulis media itu.
“Dia paling beta bertanya tentang harga bawang di pasar atau membagikan kaos kepada orang banyak agar bisa melihat sekilas ke mana pun dia pergi. Ia telah merevolusi politik Indonesia dengan memanfaatkan operasi media sosial yang cerdas dan fokus tanpa henti pada pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
“Namun ada tiga hal besar yang menghantui warisannya: apakah perekonomian Indonesia akan terus tumbuh, apakah penggantinya akan mempertahankan kebijakannya, dan apakah negara tersebut dapat mempertahankan tindakan penyeimbangan di dunia yang terpecah,” terang laman itu.
Rekor Ekonomi
Rekor pertumbuhan ekonomi Jokowi dinilai cukup baik. Indonesia, dimuat The Economist lagi, telah menjadi negara dengan pertumbuhan tercepat kelima di antara 30 negara dengan perekonomian terbesar di dunia sejak ia menjabat pada tahun 2014.
PDB dilaporkan meningkat secara kumulatif sebesar 43% sejak saat itu. Bahkan proyeksi IMF menunjukkan laju ini dapat terus berlanjut.
“Hal ini sebagian besar disebabkan oleh pembangunan infrastruktur yang sangat besar. Negara terpadat keempat di dunia ini terdiri dari lebih dari 13.000 pulau, banyak di antaranya tidak memiliki fasilitas dasar,” muat media itu.
Sering digambarkan dalam topi keras, Jokowi telah membangun bandara, pelabuhan, pembangkit listrik, bendungan dan telah membangun ribuan kilometer jalan raya dan jalur kereta api. Dia telah menggunakan popularitasnya untuk membujuk partai-partai politik, badan usaha milik negara, dan para taipan berpengaruh di negaranya,” jelasnya.
IKN
Media itu pun menyorot ibu kota baru (IKN) yang jadi salah satu Andalan Jokowi saat ini. Proyek di hutan Kalimantan itu, yang disebut The Economist, merupakan contoh dari strategi Jokowi sekaligus menjadi sorotan yang akankah ditayangkan karena pemilu membuat proyek ini berhasil.
“Jokowi berpendapat bahwa kota yang dikenal dengan nama Nusantara ini penting karena seperempat wilayah Jakarta, ibu kota saat ini, bisa tenggelam pada tahun 2050,” tulisnya.
“Para perkiraan mengatakan proyek senilai US$34 miliar, yang akan selesai pada tahun 2045, tidak realistis. Pemerintah mengatakan akan menanggung 20% dari biaya yang diproyeksikan, dan dijamin oleh investor dalam dan luar negeri,” muatnya.
“Namun, lebih dari empat tahun setelah proyek tersebut diumumkan, tidak ada satupun investor asing yang menandatangani kontrak yang mengikat untuk mempercayakan kota tersebut,” katanya.
Cina dan AS
Sebenarnya, muat laman itu lagi, Jokowi beruntung. Ia bisa menarik pihak asing untuk mendukung proyek-proyek lain.
“Investasi asing langsung melonjak menjadi US$45 miliar pada tahun 2022, naik 44% dari tahun sebelumnya,” tulisnya.
Memang, muat media itu lagi, sebagian besar investasi ini datang dari Tiongkok. Ini juga mengalir ke pertambangan dan pengolahan nikel, cadangan logam terbesar di dunia, yang penting untuk memproduksi baterai kendaraan listrik.
“Pada tahun 2014 Indonesia melarang ekspor nikel yang belum diolah. Karena tidak adanya pilihan untuk pindah ke tempat lain, perusahaan pertambangan asing, yang sebagian besar adalah warga China, membangun fasilitas pengolahan besar di Indonesia,” muatnya.
“Hal ini mendorong pertumbuhan dan lapangan kerja baru, meskipun dengan mengorbankan lingkungan,” tegas media itu.
“Indonesia mengekspor produk nikel bernilai lebih dari US$30 miliar pada tahun lalu, 10% dari total ekspor dan sepuluh kali lebih banyak dibandingkan tahun 2013,” muatnya.
Namun tulis The Economist, Indonesia terlalu bergantung pada China. Hal ini kemudian membatasi ruang Indonesia untuk melakukan manuver geopolitik.
“Meskipun merupakan negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, Indonesia tetap bungkam mengenai kompilasi terhadap warga Uighur, kelompok etnis dominan Muslim yang berasal dari wilayah Xinjiang, Tiongkok karena takut akan berdampak pada ekonominya,” muatnya lagi.
Hubungan masa Jokowi dengan Amerika Serikat (AS) pun dipahami. Dimuat bagaimana karena terlalu dekat dengan Tiongkok, sulit bagi Jokowi mencapai kesepakatan dengan Gedung Putih.
“Indonesia sangat menginginkan kesepakatan perdagangan dengan Amerika yang mencakup logam agar penjualan nikel Indonesia di Amerika menjadi lebih murah dan tidak terlalu bergantung pada China. Namun pemerintah Amerika tunduk pada dominasi Tiongkok dalam industri nikel di Indonesia, sehingga kesepakatan masih sulit tercapai,” tulisnya.
Para Capres Baru: Prabowo, Ganjar, Anies
The Economist kemudian menuliskan profil para pejuang yang akan menggantikan Jokowi. Pertama yakni terkait Prabowo, yang sudah dua kali kalah dari Jokowi sebelumnya.
“Prabowo merupakan tokoh yang membiarkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di Timor-Leste pada tahun 1980an, namun ia membantah keras hal tersebut,” jelas media itu.
“Ia menekankan nasionalismenya, mendukung otonomi pangan, dan mengkritik praktik pemilu langsung di Indonesia,” tambahnya.
Yang kedua adalah Ganjar Pranowo. Ganjar menyampaikan setelah Mantan Gubernur Jawa Tengah menunjuk Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Arsjad Rasjid, sebagai ketua kampanyenya.
“Menunjukkan bahwa ia mungkin lebih serius dibandingkan dengan Prabowo mengenai reformasi ekonomi,” tulis laman itu.
Kandidat ketiga adalah Anies Baswedan, mantan gubernur Jakarta dan mantan menteri pendidikan di kabinet Jokowi, yang suaranya terdengar jauh di belakang Ganjar dan Prabowo. Dianggap sebagai underdog, Anies kalah pada putaran pertama pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 sebelum menang telak pada putaran kedua, yang didukung oleh pemilu konservatif konservatif.
“Baru-baru ini ia mendapatkan dukungan dari organisasi masyarakat sipil Muslim terbesar di negara tersebut, sebuah blok pengumpulan suara yang penting, yang membuka kemungkinan terjadinya persaingan tiga pihak,” tambah media itu.
The Economist pun melihat arah kebijakan masing-masing capres. Ganjar dan Prabowo disebut mungkin akan mempertahankan kebijakan Jokowi, termasuk larangan ekspor bahan mentah dan pembangunan ibu kota baru.
Namun mengutip penulis biografi Jokowi, Ben Bland, kemenangan bukan berarti akan datang pada tokoh yang fokus pada keinginan kebijakan Jokowi. Menurutnya, dukungan dari Jokowi akan membantu kandidat mana pun, tetapi tidak ada jaminan bahwa pemenang akan mempertahankan warisannya.
“Pemilu di Indonesia lebih mementingkan kepribadian dibandingkan kebijakan,” simpulnya.
Artikel Selanjutnya
Bukan Buat China, Jokowi Tegaskan Cuan Hilirisasi untuk Siapa
(mkh/mkh)