KOORDINATOR Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, mundurnya panen raya di tahun depan, berdampak pada pengurangan pendapatan petani. Dengan penguasaan lahan di bawah satu hektar (ha), rata rata pendapatan petani sebesar Rp600 ribu-Rp900 ribu per bulan. Jumlah ini diperkirakan akan menyusut karena mundurnya panen raya. Sementara itu, Badan Pangan Nasional (Bapanas) memperkirakan puncak musim panen padi di awal tahun 2024 terjadi pada Mei-Juni, mengalami perlambatan dua bulan dari Maret-April. Baca juga : Kementan Kenalkan Olahan Pangan dari Bekatul kepada Peserta Afrika “Tentu saja risiko yang dihadapi bagi keluarga petani itu penurunan pendapatan. Dengan adanya El Nino, pendapatan yang mencapai setengah dari kondisi normal, atau lebih berkurang lagi,” ujarnya saat dihubungi Media Indonesia, Minggu (12/11). Said mengatakan dengan kemarau panjang akibat El Nino telah memukul buruh tani. Dengan kondisi udara yang terbatas, maka tidak ada kemungkinan bagi petani untuk menanam sesuai biasanya. Para petani terancam kehilangan pekerjaan karena sawah garapannya kering. Baca juga : Kemarau Panjang tidak Ganggu Produktivitas Padi di Ngawi “Tiadanya kegiatan menanam tentu saja meniadakan pendapatan. Saat ini, seperti di Indramayu, untuk menyiasati situasi ini, para petani memilih ke kota menjadi buruh untuk mendapatkan pendapatan,” jelas Said. “Jika situasi ini tidak diantisipasi, maka beban bagi petani semakin berat,” terangnya. Senada, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menuturkan dampak mundurnya panen raya menyebabkan arus kas atau arus keuangan rumah tangga petani berkurang. Pada tahun 2024, Rusli menyebut bulan puasa jatuh pada pertengahan Maret dan Lebaran pada pertengahan April 2024. Ketika panen raya jatuh pada dua bulan tersebut, maka petani bisa menuhi kebutuhan Lebaran dengan hati gembira karena ada hasil panen yang bisa dijual. “Namun jika panen bergeser, maka tidak demikian,” ucapnya dihubungi secara terpisah. Selain dampak bagi petani, peniliti Indef itu mewaspadai dampak lain dari mundurnya panen raya. Yakni, beban akan ada beban inflasi ganda menjelang puasa, dan lebaran 2024. Hal ini disebabkan oleh siklus inflasi menjelang puasa, selama puasa dan menjelang lebaran. Rusli menuturkan ketika panen raya baru terjadi pada Mei-Juni maka ada potensi harga beras yang melonjak tinggi. Hal ini, katanya, berbeda bila panen raya terjadi pada Maret-April. Harga beras cenderung bisa ditekan saat puasa akibat pasokan yang berlimpah. Jadi, beban ganda inflasinya berasal dari kenaikan harga menjelang puasa, selama puasa dan menjelang lebaran ditambah harga beras yang masih tinggi, ucap Rusli. Ia meminta pemerintah untuk memastikan stok beras aman agar dapat memenuhi perubahan dua bulan panen raya, terutama daerah-daerah yang bukan penghasil padi. (Z-5)
KOORDINATOR Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, mundurnya panen raya di tahun depan, berdampak pada pengurangan pendapatan petani.
Dengan penguasaan lahan di bawah satu hektar (ha), rata rata pendapatan petani sebesar Rp600 ribu-Rp900 ribu per bulan. Jumlah ini diperkirakan akan menyusut karena mundurnya panen raya.
Sementara itu, Badan Pangan Nasional (Bapanas) memprediksi puncak musim panen padi di awal tahun 2024 terjadi pada Mei-Juni, mengalami perlambatan dua bulan dari Maret-April.
Baca juga: Kementan Kenalkan Olahan Pangan dari Bekatul kepada Peserta Afrika
” Tentu saja risiko yang dihadapi bagi keluarga petani itu adalah penurunan pendapatan. Dengan adanya El Nino, pendapatan yang mencapai setengah dari kondisi normal, atau lebih berkurang lagi,” ujarnya saat dihubungi Media Indonesia, Minggu (12/11).
Said mengatakan dengan kemarau panjang akibat El Nino telah memukul buruh tani. Dengan kondisi udara yang terbatas, maka tidak ada kemungkinan bagi petani untuk menanam sesuai biasanya. Para petani terancam kehilangan pekerjaan karena sawah garapannya kering.
Baca juga: Kemarau Panjang Tidak Ganggu Produktivitas Padi di Ngawi
“Tiadanya kegiatan penanaman tentu akan menghasilkan pendapatan. Saat ini, seperti di Indramayu, untuk menyiasati situasi ini, para petani memilih ke kota menjadi buruh untuk mendapatkan pendapatan,” jelas Said.
“Jika situasi ini tidak diantisipasi, maka beban bagi petani semakin berat,” terangnya.
Senada, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menuturkan dampak mundurnya panen raya menyebabkan arus kas atau arus keuangan rumah tangga petani berkurang.
Pada tahun 2024, Rusli menyebut bulan puasa jatuh pada pertengahan Maret dan Lebaran pada pertengahan April 2024. Ketika panen raya jatuh pada dua bulan tersebut, maka petani bisa menuhi kebutuhan Lebaran dengan hati gembira karena ada hasil panen yang bisa dijual.
“Namun jika panen bergeser, maka tidak demikian,” ucapnya dihubungi secara terpisah.
Selain dampak bagi petani, peniliti Indef itu mewaspadai dampak lain dari mundurnya panen raya. Yakni, beban akan ada beban inflasi ganda menjelang puasa, dan lebaran 2024. Hal ini disebabkan oleh siklus inflasi menjelang puasa, selama puasa dan menjelang lebaran.
Rusli menuturkan ketika panen raya baru terjadi pada Mei-Juni maka ada potensi harga beras yang melonjak tinggi. Hal ini, katanya, berbeda bila panen raya terjadi pada Maret-April. Harga beras cenderung bisa ditekan saat puasa akibat pasokan yang berlimpah.
Jadi, beban ganda inflasinya berasal dari kenaikan harga menjelang puasa, selama puasa dan menjelang lebaran ditambah harga beras yang masih tinggi, ucap Rusli.
Ia meminta pemerintah untuk memastikan stok beras aman agar dapat memenuhi perubahan dua bulan panen raya, terutama daerah-daerah yang bukan penghasil padi. (Z-5)