TEMPO.COBahasa Indonesia: Jakarta – Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMANRukka Sombolinggi, mengatakan kekhawatirannya perihal potensi konflik horizontal dari langkah Presiden Joko Widodo atau Jokowi bagi-bagi izin tambang pada organisasi kemasyarakatan atau Ormas keagamaan. Saat ini sejumlah Ormas keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menyatakan menerima izin usaha pertambangan (IUP) yang ditawarkan pemerintah.
Menurut Rukka, selama ini masyarakat adat banyak yang menjadi korban industri tambang. Banyak hutan, termasuk hutan adat yang dirusak industri tambang. NU dan Muhammadiyah serta Ormas keagamaan lainnya adalah kelompok yang kerap bersama masyarakat adat membela kelestarian hutan dari tambang.
NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi keagamaan yang turut terlibat dalam aliansi agama dan kepercayaan untuk hutan tropis. “Selama ini, mereka (Ormas keagamaan) kami anggap sebagai sekutu,” kata Rukka kepada Tempo di sela kegiatan Konferensi Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia di Hotel Le Meridien, Jakarta Pusat, Jumat, 9 Agustus 2024.
Aliansi yang dimaksud Rukka adalah peluncuran Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Januari 2020. Tercatat lebih dari 250 pemimpin agama hadir di Jakarta. Mereka menyatakan kesepakatan perlindungan hutan hujan tropis Indonesia pada peluncuran IRI di Jakarta.
Pertemuan itu mempertemukan pimpinan agama dan perwakilan masyarakat adat dari kawasan hutan di seluruh Indonesia bersama perwakilan peneliti, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, serta perwakilan Persatuan Bangsa-Bangsa. Saat itu, salah satu penggagas adalah Muhammad Sirajuddin Syamsuddin alias Din Syamsuddin, kini mantan Ketua Muhammadiyah.
Pun NU dan Muhammadiyah, kata Rukka, kerap menjadi organisasi keagamaan yang menjadi tempat masyarakat adat mengadu. Namun sekarang seolah-olah pemerintah hendak membenturkan Ormas keagamaan dengan masyarakat adat dalam hal tambang. Ironisnya, NU dan Muhammadiyah kini baru saja menerima pemberian izin tambang tersebut. Hal tersebut menimbulkan keributan antara NU dan Muhammadiyah dengan masyarakat adat.
“Mereka seperti membalikkan badan dari masyarakat adat. Saya juga bertanya-tanya, komitmenya ada di mana?” kata Rukka.
Rukka mengatakan, selama ini masyarakat adat sering berhadapan dengan perusahaan saat berupaya melindungi tanah atau hutan adat mereka dari tambang. Tidak jarang masyarakat adat terpaksa dihadapkan pada aparat pemerintah yang membela industri pertambangan. Dia tidak berharap nanti masyarakat adat akan berhadapan dengan Ormas keagamaan. “Akan semakin berat hidup kami,” ujarnya.
Iklan
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, Muhammadiyah sudah mengantisipasi berbagai kekhawatiran yang disampaikan kepada aktivis lingkungan tentang dampak kerusakan lingkungan. Termasuk kemungkinan konflik sosial hingga independensi politik.
“Muhammadiyah sudah mengantisipasi dengan tiga pola pemberdayaan masyarakat untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik,” kata Mu’ti melalui aplikasi pesanan pada Jumat, 9 Agustus 2024.
Tiga antisipasi itu, yakni pertama, memberikan kesempatan bekerja kepada masyarakat sekitar tambang. “Yang tidak memiliki kemampuan akan diberikan pelatihan,” ucap dia. Kedua, melibatkan masyarakat dalam proses penambangan, misalnya penyediaan kebutuhan pekerja. Terakhir memprioritaskan pendistribusian tanggung jawab sosial (CSR) kepada masyarakat terdekat.
Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf belum menjawab pertanyaan Tempo perihal kekhawatiran potensi konflik sosial yang mempengaruhi aktivisme AMAN tersebut. Tempo telah mengirim pertanyaan dan menelepon ke nomor Yahya. Namun hingga berita ini ditulis, Yahya belum menjawab pertanyaan tersebut.
Tempo juga meminta konfirmasi yang sama melalui sambungan telepon dan mengirim pesan ke Ketua PBNU Bidang Hukum dan Media Syaff’i Alieha. Namun ia belum menjawab pertanyaan mengenai kekhawatiran masyarakat adat tersebut.
Pilihan Editor: Jokowi Jadi Inspektur, Petugas Upacara 17 Agustus Bakal Glamping di IKN