Istanbul (ANTARA) – Warga Rohingya yang tinggal di negara bagian Rakhine di Myanmar barat, tidak dapat mencapai akses bantuan kemanusiaan dan tempat yang aman setelah badai Siklon Mocha menerjang daerah itu. Alasannya, kewarganegaraan mereka dicabut pada tahun 1982, kata seorang pembela hak asasi manusia (HAM).
Nay San Lwin, aktivis HAM dan pendiri Koalisi Pembebasan Rohingya, berkata kepada Anadolu bahwa sekitar 130 ribu pengungsi berlindung bencana yang terjadi di Myanmar itu. Bukan hanya itu, sejumlah warga Rohingya juga dinyatakan hilang akibat bencana tersebut.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebut Rohingya “minoritas paling teranaya di dunia” setelah badai itu merenggut 400 orang tewas dan menciptakan kerusakan besar.
“Tanpa Kewarganegaraan Myanmar, mereka mirip pasien yang lumpuh. Warga Rohingya di Myanmar tidak akan pernah mendapatkan kesempatan yang sama dengan suku-suku lain di Myanmar karena tidak memiliki kewarganegaraan,” kata Lwin.
Lwin menambahkan militer berusaha mengusir warga Rohingya Myanmar sampai lebih dari satu juta pengungsi Rohingya mengungsi di Bangladesh.
Baca juga: IOM: berjemur Topan Mocha, pengungsi Rohingnya butuh bantuan
“Junta tidak berniat mengembalikan baik kewarganegaraan Rohingya maupun melindungi hak mendasar manusia,” tambah Lwin.
Menurutnya, warga Rohingya menunggu bantuan kemanusiaan, tapi tak tahu pasti kapan bantuan sampai kepada mereka.
Sembari menuding junta dengan sengaja membiarkan korban jiwa saat terjadi bencana itu, dia menyatakan andaikan junta membolehkan menyelamatkan warga Rohingya sehari sebelum badai, maka jumlah korban tewas akan sedikit.
Junta Myanmar baru memerintahkan warga Rohinya meninggalkan kamp mereka beberapa jam sebelum badai menerjang dan itu pun tanpa menyediakan alat transportasi atau tempat yang aman, kata dia.
“90 persen kamp pengungsi hancur. Ratusan warga Rohingya tewas, dan banyak yang hilang. Tantangannya besar sekali. Mereka sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan, namun junta tidak memberikan akses kepada organisasi internasional untuk mencapai wilayah-wilayah yang diminta,” kata Lwin.
Dia menyatakan semua warga Rohingya yang tinggal di ibu kota Rakhine, Sittwe, mengalami badai. Mereka sudah terkurung di kamp sejak 2012.
Baca juga: Siklon Mocha di Rakhine berdampak pada 5,4 juta warga Myanmar
“Kamp-kamp itu mirip kamp konsentrasi. Warga Rohingya tidak diizinkan keluar dari kamp,” katanya. Padahal, mereka sudah mendiami kamp-kamp tersebut selama 11 tahun.
“Junta tak mau menunjukkan simpati. Rohingya tak akan diizinkan kembali ke tempat asal mereka yang terpaksa ditinggalkan pada 2012,” tambahnya.
Lwin mendesak masyarakat internasional untuk bertindak.
Pada 2017, ratusan ribu warga Rohingya meninggalkan Myanmar menghindari tindakan brutal militer Myanmar terhadap minoritas Muslim di bagian utara negara itu.
Sudah 1,2 juta warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh untuk mendiami kamp pengungsi terbesar di dunia di Cox Bazaar.
Baca juga: Myanmar diterjang Siklon Mocha, korban tewas 400 lebih
Sumber: Anadolu
Penerjemah: Yoanita Hastryka Djohan
Editor: Jafar M Sidik
HAK CIPTA © ANTARA 2023