‘JIKA benar kalian tuan rumah tambang emas terbesar di dunia, ketahuilah bahwa harta yang paling berharga ialah keinginan agar perbedaan tidak menjadi alasan untuk bertikai, tetapi diselaraskan dalam kerukunan dan rasa saling menghormati’.
Kalimat di atas kutipan dari pernyataan pemimpin tertinggi gereja Katolik sedunia Paus Fransiskus ketika mengunjungi Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (5/9). Itu nasihat mutiara amat indah demi kelestarian dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Kodratnya Indonesia beraneka ragam. Ini anugerah luar biasa dan oleh karena itu, bangsa ini harus selamanya menjunjung tinggi kerukunan dan persatuan. Nenek moyang kita pun telah mewariskan sesanti jati diri bangsa, Bhinneka Tunggal Ika.
Baca juga : Unjuk Rasa di Astina
Dalam cerita wayang, kerukunan dan persatuan itu pula yang menjadi ‘ideologi’ bangsa Amarta (Pandawa). Mereka menomorsatukan nilai-nilai itu sehingga derap langkah pembangunan terus berjalan dan eksistensi negara terjaga selamanya.
Prinsip tijitibeh
Baca juga : Kebengisan Durga
Pandawa menyadari pentingnya kerukunan dan persatuan semenjak mengalami peristiwa yang hampir saja menghilangkan nyawa mereka. Ketika itu Kurawa membakar Bale Sigalagala, penginapan Pandawa pada malam menjelang serah terima kekuasaan.
Kejadian mengerikan itu dilatarbelakangi nafsu Kurawa menguasai takhta Astina. Dengan berakhirnya Pandawa, jalan menggapai tujuan terbuka lebar. Kenapa demikian? Karena lima kesatria yang menjadi target itu para ahli waris penguasa.
Sebelum Raja Astina Prabu Pandu Dewanata mangkat, takhta dititipkan kepada kakaknya, Drestarastra. Wasiatnya, bila anaknya (Pandawa) dewasa, kekuasaan diberikan kepada mereka. Sebelum penyerahan terlaksana, Kurawa berusaha menghabisi.
Baca juga : Istana Yawastina
Pandawa atas pertolongan dewa. Namun, Kurawa berhasil memegang takhta buah skenario kotor paman mereka dari garis ibu, Sengkuni. Pandawa memilih mengungsi kemudian berswasembada mendirikan negara Amarta.
Dalam mengelola pemerintahan, Puntadewa sebagai raja menerapkan prinsip kepemimpinan kolektif kolegial. Artinya, setiap kebijakan memutuskan bersama empat saudaranya dan begitu pula tanggung jawab serta pelaksanaannya.
Kebersamaan itu yang diidamkan ibunda, Kunti Talibrata. Pandawa ialah keluarga yang terdiri dari lima kesatria putra Pandu. Tiga lahir dari rahim Kunti, yaitu Puntadewa, Werkudara, dan Arjuna. Dari Madrim lahir kembar, Nakula-Sadewa.
Baca juga : Refleksi Kemerdekaan
Madrim meninggal dunia tidak lama setelah Pandu wafat ketika anak masih balita. Praktisnya, Kunti yang momong dan membesarkan tiga putra kandung dan dua anak tiri. Tidak ada perbedaan kasih sayangnya kepada putra-putranya tersebut.
Kelima anak itu, meskipun berasal dari ayah yang sama, memiliki kepribadian yang berbeda. Puntadewa penyabar dan pengasih, Werkudara lugu dan tegak lurus, Arjuna suka mengembara, sedangkan Nakula dan Sadewa berwatak jujur ​​dan setia.
Oleh karena itu, dengan tabiat yang berlainan, tidak jarang timbul perbedaan pandangan. Namun, dengan semangat kerukunan dan persatuan, semua bisa berjalan dengan baik. Mereka pandai menyimpan ego masing-masing demi tujuan bersama.
Contohnya, ketika Pandawa kalah main dadu melawan Kurawa, tidak satu pun dari empat adiknya yang menyalahkan Puntadewa. Padahal, sulung itu biang keladi Pandawa kehilangan kedaulatan Amarta dan hidup terlunta-lunta di belantara.
Saat itu Werkudara bersiap menggasak Kurawa yang telah terbukti mengakali dan menjahati, tetapi harus mengurungkan karena perintah Puntadewa. Arjuna yang tersulut emosinya juga harus bersabar karena anjuran kakaknya agar tetap tawakal.
Dengan peristiwa itu, Puntadewa mengaku salah dan meminta maaf kepada adik-adiknya. Selain itu, ia merasa dirinya sudah tak pantas lagi memimpin. Namun, keempat adiknya Legawa dan tetap menghormatinya sebagai pemimpin dan saudara tertua.
Ketika tinggal di Hutan Kamyaka selama 12 tahun akibat kalah main dadu, Pandawa kompak menanggung penderitaan. Lelakon itu justru kian menguatkan persatuan keluarga. Malah mereka menjadikan ‘hukuman’ itu sebagai wahana mengasah kualitas jiwa kesatria.
Pada suatu hari dalam masa bersantai, Puntadewa meminta Sadewa mencari air minum. Namun, lama tidak kembali. Lalu Nakula disuruh menyusul, tapi tak juga muncul lagi. Kemudian Arjuna, dan akhirnya Werkudara diperintah mencari.
Karena tiada satu pun yang kembali, Puntadewa menyusul dan menemukan semua adiknya mati dengan kulit membiru di tepi telaga. Muncullah gandarwa penjaga telaga dan mengatakan semua keracunan mati karena meminum udara tanpa izin.
Puntadewa meminta maaf dan memohon agar semua adiknya dihidupkan kembali. Namun, gandarwa mengaku hanya bisa menghidupkan satu orang. Setelah mendengar jawaban itu, Puntadewa berniat meminum air telaga menyusul mati adik-adiknya.
Gandarwa mencegah lalu beralih wujud Bathara Darma. Dewa keadilan itu mengejawantah menguji kerukunan Pandawa yang berprinsip tiji tibehyaitu mati saja mati saja atau mukti siji mukti semua (mati satu mati semua atau bahagia satu bahagia semua).
Menjadi kekuatan
Solidnya kebersamaan Pandawa itu, selain hasil didikan ibunda, berkat petuah kakek mereka, Begawan Abiyasa. Setiap Arjuna sowan ke Pertapaan Sapta Arga, mantan raja Astina tersebut selalu mewanti-wanti pentingnya kerukunan.
Ajaran luhur itu juga yang dijangkarkan botoh mereka Sri Bathara Kresna dan ditanamkan dalam-dalam sang pamong Ki Lurah Semar Badranaya. Keduanya tidak bosan-bosan dalam setiap kesempatan mengingatkan indahnya persatuan.
Semangat persatuan itu juga menjadi modal mereka melawan Kurawa dalam perang Bharatayuda di medan Kurusetra. Pandawa pada akhirnya menang dan mendapatkan kembali hak mereka atas kedaulatan Amarta sekaligus Astina.
Poin kisah itu ialah kerukunan dan persatuan menjadi kekuatan Pandawa menjalani setiap lakon. Dalam kearifan lokal, nilai itu terkandung dalam peribahasa rukun agawe santosa, crah agawe bubrah atau bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. (M-3)