Oleh: Israr Itah, jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Olahraga Indonesia tak pernah kehabisan atlet bermental baja. Rifda Irfanaluthfi contoh terkini. Pesenam artistik putri Indonesia ini menunjukkan bahwa arti pemenang tak sebatas penerima medali tertinggi di arena olahraga.
Kata pemenang juga layak disandang para atlet karena usaha hebatnya, bukan medali yang diraihnya. Mereka yang sudah jatuh bangun mengeluarkan kemampuan terbaik sampai batas maksimalnya di gelang olahraga demi nama bangsa dan negara.
Saya percaya semua sepakat, Rifda layak mendapatkan penghormatan tinggi layaknya juara sejati, meskipun tersingkir dini di Olimpiade Paris 2024. Dunia menyaksikan perjuangan gadis 24 tahun ini menahan sakit di Bercy Arena, Ahad (28/7/2024), saat membawa nama Indonesia pada pesta olahraga sejagat tersebut.
Rifda sebelumnya sudah mencatatkan sejarah sebagai pesenam pertama Indonesia yang berhasil tampil di Olimpiade. Ia urung menuliskan sejarah lainnya dengan melaju lebih jauh, namun menggantinya dengan kisah heroik kegigihannya, meski tengah dirundung cedera.
Rifda hanya memainkan palang bertingkat dari empat alat yang wajib dicoba pada kualifikasi. Ia mendapatkan nilai 9.166, tak cukup menembus babak berikutnya.
Sepanjang aksinya, Rifda menahan rasa sakit akibat cedera di bagian meniskus dan ACL lututnya. Ia bahkan harus dibantu oleh pelatih Eva Novalina saat posisi naik dan mendarat ketika tampil di palang bertingkat (batang tidak rata).
“Rasanya berat banget karena untuk bisa sampai di Olimpiade ini perjalanannya tidak mudah dan panjang sekali. Latihan keras dengan menahan rasa sakit, kondisi naik turun rasanya berat banget. Saya berharap bisa tampil di empat alat, tapi cedera lagi, dari nol lagi, bisa tiga alat lagi cedera lagi, sampai tampil di palang bertingkat saja tadi,” kata Rifda dalam keterangan KOI/NOC Indonesia.
Pengorbanan dan perjuangan Rifda sungguh menakjubkan. Ia mengamankan tiket ke Olimpiade Paris selepas berlaga di Kejuaraan Senam Artistik Dunia 2023, Antwerp, Belgia dalam kondisi lutut kanan cedera. Namun setelah tampil di Kejuaraan Dunia tersebut, ia harus menjalani operasi di bagian meniskus atau bantalan penyangga lutut.
Pada saat yang sama ACL-nya bermasalah. Andai telah melakukan operasi, dia mungkin tidak bisa berlaga di Paris. Keputusan besar diambil. ACL-nya tak diperasi. Sebaliknya, Rifda menjalani rehabilitasi, terapi, penguatan, dan latihan rutin.
Bulan lalu, Rifda bisa memainkan semua gerakan di semua alat. Namun tiga pekan menjelang keberangkatan ke Paris, Rifda kembali cedera. Lututnya bengkak yang membuatnya sempat mengalami stres.
Tiga hari menjelang keberangkatan ke Olimpiade, kondisi Rifda sudah membaik dan bisa memainkan empat alat sesuai rencana pelatih. Namun, sampai di Paris, tepatnya di sesi latihan kedua ia kembali merasakan sakit karena cedera yang ditahannya.
“Sebenarnya saya ingin sekali tampil di Olimpiade karena ini cita-cita saya. Saya mau buat bangga semua yang sudah mendukung saya,” ujar Rifda.
Rifda bertubuh…