Jakarta, CNBC Indonesia – Subsidi energi yang harus dikucurkan pemerintah terus membengkak. Dalam penjelasannya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan target subsidi energi tahun ini mencapai Rp 186,9 triliun. Jika target tersebut terwujud, maka akan terjadi peningkatan subsidi hingga lebih dari Rp 27,3 triliun dibandingkan realisasi subsidi energi tahun 2023 sebesar Rp 159,6 triliun.
Angka tersebut juga berpotensi melonjak mengingat tahun 2023 realisasi subsidi energi melebihi target yang semula sebesar Rp 145,3 triliun.
Besaran subsidi energi ini belum termasuk nilai “subsidi terselubung” yang harus diumumkan pemerintah dari program harga gas bumi tertentu (HGBT) yang sudah berjalan sejak April 2020 sampai tahun ini. Pasalnya sampai tahun 2022 saja pemerintah harus menyumbangkan pendapatannya senilai Rp 29 triliun akibat pemangkasan haknya di sektor hulu migas.
“Sebagaimana kita mengetahui bahwa untuk dalam negeri kita harus menyiapkan paket subsidi energi untuk masyarakat, subsidi energi ini tetap dipertahankan. Pemerintah tahun ini menetapkan target subsidi energi sebesar Rp186,9 triliun. Rinciannya, sebesar Rp113,3 triliun subsidi untuk Bahan Bakar Minyak ( BBM) dan Liquified Petroleum Gas (LPG), serta Rp73,6 triliun untuk subsidi listrik,” tutur Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif saat konferensi pers capaian kinerja Kementerian ESDM Tahun 2023 di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, Senin (15 /1).
Pengamat Energi Komaidi Notonegoro menyatakan, pemerintah seharusnya memulai kembali berbagai kebijakan subsidi dibidang energi. Ia juga menunjuk subsidi yang diberikan kepada industri tertentu dengan menikmati harga gas murah USD 6 per mmbtu. Menurutnya, program ini sejak awal ditujukan untuk meningkatkan daya saing bagi industri tertentu penerima HGBT.
Namun kenyataannya, lanjut Komaidi, sesuai dengan hasil perhitungan, program ini tidak berhasil. Karena harga gas hanya salah satu faktor yang menjadi penentu daya saing sebuah industri, selain 14 faktor lainnya.
“Jadi kalau hanya satu yang diperhatikan tapi yang lain tidak diperhatikan juga nggak ada dampaknya. Sudah terbukti kan dari beberapa evaluasi ini kan belum sesuai ekspektasi atau kalkulasi awal,” ujarnya, Rabu (18/1).
Komaidi menilai program HGBT harus dievaluasi secara menyeluruh. Pasalnya, jika program ini gagal dan tetap berlanjut, maka dampaknya juga akan berdampak pada sektor hulu migas dan rantai bisnis secara keseluruhan. “Ini yang saya rasa harus jadi pertimbangan pemerintah, kira-kira apakah perlu dilanjut atau tidak,” imbuhnya.
Berdasarkan peraturan menteri energi dan sumber daya mineral (Permen ESDM) Nomor 15 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu Dibidang Industri, terdapat 7 sektor industri yang menikmati subsidi HGBT. Industri tersebut adalah industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Sejak diberlakukan hingga tahun 2022, program subsidi gas murah dengan mematok harga gas bumi sebesar USD6 per MMBTU ini telah membuat pemerintah kehilangan penerimaan negara hingga sebesar Rp29,4 triliun. Sementara dalam periode tersebut, penerimaan negara dari sektor industri penerima subsidi hanya sekitar Rp 15 triliun.
Dari hasil evaluasi Kementerian Keuangan, penerimaan pajak pada tujuh penerima industri harga gas bumi tertentu pada tahun 2020 hingga 2022 memang cenderung meningkat. Namun,peningkatan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh program HGBT, tetapi juga karena volatilitas harga komoditas.
Dari aspek peningkatan lapangan kerja, program HGBT justru gagal. Penyerapan tenaga kerja pada tujuh industri penerima harga gas bumi tertentu selama tahun 2020-2022 justru menurun.
Pada tahun 2020, penyerapan tenaga kerja tercatat sebesar 127.000 orang. Pada tahun 2021 dan 2022, jumlah tenaga kerja yang terserap turun masing-masing menjadi 121.500 orang dan 109.200 orang.
Artikel Selanjutnya
Emiten Keramik (KIAS) Tiba-tiba Gugat Pemerintah, Kenapa?
(ayh/ayh)