Teresa Perales, legenda hidup renang Paralimpiade, terus melawan segala rintangan dan menambah prestasinya yang gemilang. Tidak ada kata sifat yang cukup untuk menggambarkan prestasinya, dan tidak ada yang tampak mustahil baginya. Prestasi terbarunya, yaitu meraih medali perunggu di Paralimpiade Paris pada hari Sabtu, bukan sekadar kemenangan biasa, tetapi bukti ketangguhan dan kemampuannya untuk mengatasi tantangan yang tidak dapat diatasi.
Mencapai Olimpiade Paris sudah menjadi prestasi tersendiri bagi Perales. Setelah menghadapi siklus latihan yang sangat sulit, yang membuat disabilitasnya semakin parah, ia harus belajar berenang hanya dengan satu tangan. Baginya, sekadar mengikuti kompetisi terasa seperti memenangkan medali. Dalam babak penyisihan pagi, ia mencatat waktu tercepat keenam, tetapi timnya memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuannya. “Jika ada yang bisa melakukan keajaiban, itu adalah Teresa,” kata pelatihnya, DarÃo Carreras. MEREK. Dan keajaiban pun terjadi, ia meraih medali perunggu pada gaya punggung 50 meter dengan catatan waktu 1:10,95 – medali perunggu yang terasa sangat berharga seperti emas. Medali ini menandai medali Paralimpiade ke-28 miliknya, yang menempatkannya sejajar dengan Michael Phelps yang hebat, dengan perolehan 7 emas, 10 perak, dan 11 perunggu. Selain itu, ini menandai penampilan ketujuhnya di podium Paralimpiade berturut-turut, sebuah prestasi yang membuat banyak orang tercengang.
Prestasi ini bukan hanya tentang kekuatan fisiknya; ini adalah perayaan atas tekad, keyakinan, dan dedikasinya yang tak kenal lelah. Ini adalah puncak dari kerja keras selama bertahun-tahun dan kemampuan luar biasa untuk mengubah hal yang mustahil menjadi kenyataan. Sejak Carreras melepaskannya di tepi kolam, Perales bertekad untuk memberikan segalanya yang dimilikinya.
Setiap gerakannya tidak hanya digerakkan oleh tubuhnya tetapi juga oleh hatinya, dan jelas sejak awal bahwa ia adalah pesaing kuat untuk meraih medali. Perlombaan itu sangat kompetitif, dengan Perales berpindah-pindah antara posisi ketiga dan keempat. Dalam beberapa meter terakhir yang mendebarkan, medali perunggu diputuskan dengan selisih hanya dua ratus detik. Perales mencatat waktu 1:10.95, tepat di depan Angela Procida dari Italia, yang finis dengan waktu 1:10.97. Medali emas sudah hampir diraih sejak awal, dengan Pin Xiu Yip dari Singapura mendominasi dengan waktu 1:05.99, sementara Haidee Viviana Aceves Perez dari Meksiko meraih perak dengan waktu 1:08.96.
“Saya tidak peduli dengan warna medali; saya hanya menginginkan yang ke-28. Ini adalah yang paling epik dalam karier saya karena semua yang ada di baliknya,” kata Perales. “Saya harus menemukan jati diri saya kembali, dan ini mengingatkan saya bahwa kita semua adalah penyintas dan kita dapat mengatasi apa pun.”
Sejak Paralimpiade Tokyo 2020, kondisi Perales makin memburuk. Ia kehilangan banyak mobilitas di lengan kirinya dan kini hanya bisa berenang dengan lengan kanannya, yang sebelumnya lebih lemah dari keduanya. Ia kini mengenakan belat hitam di tangan kirinya, yang bertuliskan nama-nama semua Paralimpiade yang pernah diikutinya, dari Sydney 2000 hingga Paris 2024. Tekadnya untuk berjuang melewati kesulitan sudah merupakan sebuah prestasi, tetapi kini ia memiliki medali fisik untuk mengingatkannya bahwa kegigihan akan membuahkan hasil.
Meskipun membenci kolam renang saat kecil, berenang telah menjadi cinta keduanya, setelah keluarganya. Kepulangannya ke Tokyo pada tahun 2021 membuatnya menghadapi krisis kesehatan yang parah, dan ia kemudian menjalani operasi pada bahu kirinya. Proses pemulihan tidak berjalan sesuai rencana, memaksanya beradaptasi dengan berenang hanya dengan satu tangan. Namun, bagian yang paling menantang adalah mental. Ia harus membayangkan dirinya berenang dengan cara baru ini, sebuah proses yang sulit bagi pikiran dan harga dirinya. Awalnya, ia malu karena membutuhkan bantuan untuk masuk dan keluar dari kolam renang.
Namun, dalam semua itu, Perales tidak pernah kehilangan ambisinya. Ia telah bertekad untuk menyamai rekor Phelps dengan 28 medali sejak menyamai rekornya dengan 22 medali di London 2012, sehingga ia tetap bersaing dengan Phelps dalam perolehan medali pribadinya. Ia juga menginginkan medali ini karena alasan sentimental: medali Paralimpiade 2024 menampilkan sepotong Menara Eiffel, tempat suaminya melamarnya 20 tahun lalu. Suaminya, putranya Nano, ibu, saudara laki-laki, dan saudara iparnya semuanya berada di tribun, sepenuhnya menyadari perjuangan yang telah ia alami selama dua tahun terakhir.
“Bagi Teresa, yang terpenting bukan hanya belajar berenang lagi, tetapi juga bagaimana mengelola segala hal dalam hidupnya,” kata Mariano Menor, suaminya. “Terlepas dari semua kesulitan, ia telah membuat prosesnya sulit bagi dirinya sendiri tetapi mudah bagi kami. Tidak ada keluhan, tidak ada penyesalan.”