Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Senin mengatakan pihaknya telah menyetujui vaksin mpox buatan Bavarian Nordic untuk remaja berusia 12 hingga 17 tahun, kelompok usia yang dianggap sangat rentan terhadap wabah penyakit yang telah memicu kekhawatiran global.
WHO mengatakan dalam pernyataannya bahwa mereka memberikan prakualifikasi vaksin Jynneos untuk remaja pada 8 Oktober.
WHO menyatakan mpox sebagai darurat kesehatan masyarakat global untuk kedua kalinya dalam dua tahun pada bulan Agustus setelah virus jenis baru menyebar dari Republik Demokratik Kongo ke negara tetangganya.
Badan PBB tersebut menyetujui penggunaan vaksin tersebut pada bulan September sebagai suntikan pertama terhadap mpox pada orang dewasa, sehingga memudahkan negara-negara Afrika yang terkena dampak parah untuk mengakses vaksin tersebut.
Anak-anak, remaja, dan mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah sangat rentan terhadap mpox, infeksi virus yang biasanya menyebabkan gejala mirip flu dan lesi kulit berisi nanah.
Keputusan terbaru WHO diambil setelah Uni Eropa menyetujui obat untuk vaksin remaja pada bulan September.
Perusahaan bioteknologi Denmark juga bersiap melakukan uji klinis untuk menilai keamanan vaksin pada anak-anak berusia dua hingga 12 tahun, sehingga berpotensi memperluas penggunaannya.
Uji coba tersebut, yang sebagian didanai oleh Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi, diperkirakan akan dimulai pada bulan Oktober.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS juga telah menyetujui suntikan Bavarian, tetapi hanya untuk digunakan pada orang dewasa berusia 18 tahun ke atas, meskipun Badan Pengawas Obat dan Makanan AS memberikan Otorisasi Penggunaan Darurat untuk penggunaannya pada remaja selama wabah mpox pada tahun 2022.
Vaksin mpox lainnya, LC16, yang dibuat oleh KM Biologics Jepang, sudah bisa diberikan kepada anak-anak, menurut regulator Jepang, meski memerlukan jenis jarum khusus.
Bavarian Nordic tidak segera menanggapi permintaan komentar mengenai prakualifikasi.
Kasus-kasus strain mpox baru yang terkonfirmasi telah terdeteksi di Republik Demokratik Kongo, Swedia, Thailand, Burundi, Kenya, Rwanda dan Uganda.